Bintang Berantai Hingga Bunga Cina di Sehelai Songket

Setelah melakukan napak tilas budaya Palembang, kali ini songket. sehelai kain songket paling tidak dibuat dalam tiga bulan, harganya bisa jutaan rupiah dan bisa berumur seratus tahun.

BEBERAPA perempuan tampak menenun songket dengan tekun ketika kami tiba di sebuah home industri sekaligus butik Tenun Songket Palembang Asli di 30 Ilir Palembang. Mereka harus melakukan telitidengan hitungan matematis di luar kepala beberapa benang kain “biasa” dan berapa benang emas harus dijalin dengan akurat. Kalau tidak? Hasilnya tidak sesuai dengan rancangan, maka harus diulang. Itu sebabnya pembuatan kain songket bisa memakan waktu berapa bulan.
Cara Menenun songket
Menenun Songket
Cara Menenun Songket
Pembuatan Tenun Songket Palembang dalam dua tahap, yaitu (1) tahap menenun menggunakan  kain dasar yang rata (2) tahap menenun bagian yang ragam hias. Fitri, 17 tahun misalnya sudah setahun menenun songket secara tradisional. Sang ibu menurunkan ilmunya dan ia bekerja untuk rumah industri yang dipimpin KGS Bahsen Fikri. Dia baru beberapa hari menenun songket. Lainnya ialah Dede, 14 tahun malah sudah hari keempat hanya untuk membuat kain selendang berukuran 2 x90 cm dengan dominan warna merah dengan motif Bunga Cina. Menurut mereka membuat sehelai kain songket bisa tiga bulan.
Macam-macam Motif  songket Palembang
Macam-macam Motif  songket Palembang
Butik itu mempunyai beberapa ruang yang masing-masing mempunyai lemari untuk memajang songket baik yang dibuat oleh rumah butik itu, maupun dari industry rumahan lainnya. Iriana Iskandarsyah salah seorang dari rombongan TXTravel tampak memilih berbagai warna dan corak kain songket. “Saya menyesuaikan dengan blus. Kalau blus warna ungu songket yang saya pilih warna ungu,” ujar perempuan berusia 53 tahun ini.

Bahsen Fikri pemilik butik ini menyebutkan pendirian butik ini lebih bertujuan melestarikan kerajinan songket. Secara tradisi keluarganya memang pengarjin songket, terutama sang nenek, Mas Ayu Ainun. Songket sendiri secara tradisi dilakukan gadis-gadis menjelang mereka berumah tangga. Pada 1950 kerajinan songket sempat lenyap karena terjadinya krisis ekonomi. Fikri menghidupkan kembali usaha keluarganya pada 1997. Dahulu songket itu dibuat dengan bahan-bahan dari alam hingga warnanya alami. Sayangnya perubahan zaman membuat sejumlah tanaman hilang.

“Songket yang bagus bisa berumur 100 tahun. Motifnya beragam seperti bintang berantai, limas berantai, bungo cino,bungo mawar, masih banyak lagi,” ujar Fikri. Pria kelahiran 1970 ini adalah salah satu dari delapan bersaudara, semuanya menekuni usaha kerajinan songket. Baik itu Hj Romlah Azhari, Fauzi, Ansori, Yusuf Efendi, Zainal (Zainal Songket), Sulaiman Masri, Kgs Bahsen Fikri (Fikri Koleksi) dan Hasan Basri. Semuanya membuka usaha di kawasan 30 Ilir, hanya Hj Romlah yang membuka usaha di kawasan Lapangan Hatta.
Songket Palembang Terbaru
Songket Palembang Terbaru
Menurut Fikri, ada sekitar 50 orang pengrajin songket. Untuk memaksimalkan kinerja, dia membuat mess bagi karyawan. Tenaga yang direkrut mayoritas remaja muda yang memiliki semangat untuk belajar, ada yang masih sekolah, ada juga yang putus sekolah. “Kain songket di tempat ini biasanya dibanderol dengan kisaran harga dua ratus ribu hingga tiga juta rupiah,” kata pria ke lahiran 1970 dan alumnus IAIN Palembang ini. Kain tenun songket biasanya dipakai kaum hawa dalam adat perkawinan, baik mempelai, penari perempuan maupun tamu perempuan yang hadir. songket juga bisa dibuat hantaran pengantin laki-laki ke perempuan. Dahulu songket hanya dipakai oleh para bangsawan Palembang.

Seperti halnya tenun dari Sumetera, songket Palembang biasanya bermotif garis, simbol atau bintang, hanya masih ditambah dengan menggunakan benang emas. Untuk menghasilkan dasar yang kokoh bagi penemuan emas dan perak songket Palembang sering menggunakan serat katun untuk benang sutera untuk pakannya. Bahan-bahan benang ini dihasilkan dan dipintal sendiri, sedangkan benang emas dan logam biasanya didatangkan dari negeri tetangga seperti Singapura. Songket berasal dari perkataan menyungkit dan kemungkinan diserap dari kata Songkok Cina atau dari kata Siam Kek juga artinya menyungkit.

Sejarah Songket
Songket secara umum adalah tenunan yang ada di negeri Melayu, seperti Malaysia, Brunei, serta daerah Indonesia, seperti Minangkabau dan Palembang. Menurut Susan Rodger dalam artikelnya “Heritage and Authorship Debates in Three Sumatran Songkets” dalam buku yang disunting Walter E. Little dan Patrcia McAnany , Textile Economies: Power Value of From The local to Transnational, 2011 disebutkan bahwa songket sudah menjadi komoditi komersial dalam perdagangan antar daerah setidaknya sejak 1600-an. Teknologi tenun songket dikaitkan dengan kain perdagangan antara dunia melayu dan muslim India Utara selama 1500- 1700-an. Songket sejak berabad-abad adalah industri rumahan. Namun beberapa literature mengaitkan keberadan songket dengan era jauh lebih tua, yaitu masa kegemilanagn Sriwijaya.

Industri Songket Pandai Sikek
Selain Palembang, industri songket juga ada di Pandai Sikek, Sumatera Barat. Yang membedakan songket Pandai Sikek dari songket palembang adalah motifnya, model alat tenun, dan cara kerjanya. Pembuatan songket Palembang  duduk di lantai dengan alat godokan . Sedang alat membuat Pandai Sikek mengharuskan penenun memakai bangku kecil. Saat pengerjaannya, kaki, tangan, dan badan ikut bergerak.

Berbeda dari dari menenun songket Palembang, pembuatan motif dan menenun songket Pandai Sikek harus dilakukan sekaligus oleh satu orang. Selain mengunjungi 30 Ilir, kami juga singgah di sebuah rumah butik berbentuk limas milik Kemal Abdul Aziz di Jalan Demang Lebar Daun. Butik itu juga menjual kain songket, selain rumah limas ini disewakan untuk pernikahan. Di sini wisatawan bisa melihat contoh rumah bangsawan, termasuk juga susunan bantalnya.

Falsafah Songket Palembang
Menurut cerita Rima Febrianti, Tour Guide kami selama di Palembang ada empat tingkat bangsawan. Yang pertama Raden untuk laki-laki dan Raden Ayu untuk perempuan. Tingkat kedua, Mas Agus untuk laki-laki dan Mas Ayu untuk perempuan. Berikutnya, Kemas dan Nyimas, serta keempat Ki Agus dan Nyai Agus. “Susunan bantal, songket yang dikenakan, menandakan tingkat kebangsawananya,” jelas alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya ini