Napak Tilas Sejarah Budaya Palembang

Napak Tilas Sejarah Budaya Palembang- Palembang merupakan bekas Kesultanan tanpa keraton, hanya ada sisa Pecinan, pemukiman Arab, rumah panggung Melayu dan sisa bangunan Kolonial yang sampai sekarang terawat. Sekarang ini Palembang menjelma menjadi kota metropolitan dengan pembangunan yang pesat. Stadion Jaka baring menjadi ikon kota Palembang. di Stadion megah ini menjadi pusat pembinaan dan perhelatan olahraga bertaraf Internasional. 

Apabila Anda berkunjung ke Kota Palembang, alangkah baiknya Anda mengunjungi Tempat Wisata di Palembang. Travelgad baru-baru ini mengunjungi Palembang. tempat wisata yang perlu Anda ketahui dikota Palembang diantaranya:

Jembatan Ampera
Lagu Sebiduk di Sungai Musi yang dibawakan Alfian pada 1960-an mungkin gambaran tepat bagaimana menyeberang dari kawasan ilir ke ulu di Kota Pelembang sebelum adanya Jembatan Ampera. Begitu juga sebaliknya. Jembatan yang memiliki panjang total 1.117 meter dan lebar 22 meter serta 63 meter baru dibangun April 1962 dan diresmikan pada 1965.
Jembatan Ampera Palembang
Jembatan Ampera 
Pembuatan Jembatan atas biaya pemerintah Jepang, sebagai bentuk kompensasi perang Dunia II dari Pemerintah Jepang terhadap Indonesia. Awalnya jembatan ini dinamakan Jembatan Soekarno namun karena perubahan politik diberi nama Jembatan Ampera. Saya bersama dengan rombongan TXTraVel pada akhir Januari yang lalu menyaksikan ikon kota Palembang ini dari dermaga di mana terdapat Restoran Riverside dari sisi ilir untuk memulai sebuah trip menelusuri Sungai Musi.

SUNGAI MUSI
Menurut Sani, 55 tahun nahkoda kapal perahu motor yang membawa rombongan kami membenarkan bahwa dahulu penyeberangan dilakukan dengan biduk yang didayung membawa 10 orang apabila biduknya mempunyai panjang 12 meter dan 5 orang untuk biduk dengan panjang lima meter. Lama penyeberangan sekitar sepuluh menit. Namun dengan munculnya keberadaan motor tempel, maka namanya menjadi perahu ketek, nama ketek dari bunyinya
Sungai musi palembang
Sungai Musi
Cerita ibu saya dahulu juga menyebutkan selain biduk ada semacam rakit dengan tempat berteduhnya. Kini ada perahu yang lebih besar yang dikelola Dinas Perhubungan Kota Palembang untuk menjelajah Sungai Musi. Perahu yang dikemudikan Sani beroperasi sejak pukul 8 pagi hingga 8 malam. Namun perahu dengan kapasitas 20-35 orang penumpang ini hanya melayani rute Kota Palembang. Untuk sampai ke muara yang berjarak 200 km dengan waktu tempuh 10 jam digunakan kapal lain. Sungai Musi sendiri mempunyai panjang 750 km dengan lebar sungai rata-rata 504 meter, paling pendek selebar 250 meter dan paling lebar 1.350 meter di dekat Pulau Kemaro.

Pasar 16 ilir
Kami melewati beberapa spot yang menarik dan bersejarah. Yang per tama adalah Pasar 16 Ilir. Menurut Rima Febrianti, Tour Guide kami pasar itu adalah pasar grosir seperti Pasar Tanah Abang di Jakarta.Anda dapat menemukan batik, pakaian dan songket, hingga emas. tentunya dengan harga yang relatif lebih murah jika dibandingkan dengan pasar yang lain. Menurut beberapa literatur pasar ini awalnya tempat bertemunya warga Hulu dan ilir untuk menjajakan hasil bumi,buah dan sayur-sayuran, diperkirakan sudah ada pada abad ke 17 dan berkembang pada abad ke 19.
Pasar 16 ilir Palembang
Pasar 16 ilir
Kami juga melewati beberapa perahu pencari emas di Sungai Musi yang memang dilegalkan oleh Pemerintah Kota Palembang. Para pencari emas itu akrab dengan para wisatawan. Beberapa diantaranya bahkan melambaikan tangan pada kami. “Kalau menemukan emas, mereka boleh menggunakan dan menjualnya. Tetapi kalau mereka menemukan barang bernilai arkeologi harus dikembalikan kepada pemerintah,” tutur Rima

Kami juga melewati Pabrik Pupuk Sriwijaya (Pusri) yang merupakan pupuk urea terbesar di Asia Tenggara. Bau amoniak begitu menyengat ketika kami melewatinya. Menurut situs resminya PT Pupuk Sriwidjaja didirikan pada 24 Desember 1959 dan pada 14 Agustus 1961 dimulai pembangunan pabrik pupuk pertama kali yang dikenal dengan Pabrik Pusri I. Pada 1963, Pabrik Pusri I mulai berproduksi dengan kapasitas terpasang sebesar 100.000 ton urea dan 59.400 ton amoniak per tahun. Fikiran Rakjat edisi 19 Januari 1963 menyebutkan bahwa pabrik yang menempati tanah seluas 40 hektar di daerah Sunge Selajur dibangun dengan kredit dari Eximbank sebesar 33,3 Dollar AS. Pembangunan proyeknya diserahkan pemerintah kepada kontraktor asal AS Morrison Knudson of Asia.

PULAU KEMARO
Pulau Kemaro adalah tempat pertama yang akan kami singgahi pada pagi yang cerah ini. Jaraknya sekitar 10 km ke arah timur dari pusat kota Kami tiba di Pulau Kemaro sekitar setengah jam perjalanan. Tujuannya singgah di sebuah klenteng di dekat dermaga pulau yang mempunyai luas sekitar 24 hektar dan ditumbuhi aneka pepohonan rindang.Di dalam Klenteng Hok Tjing Bio terdapat satu batu mirip bongpai kecil (nisan dalam tradisi Cina) dengan tiga altar kayu yang dipercaya berhubungan dengan legenda Putri Palembang Siti Fatimah dengan Pangeran Tan Bun An dari Cina. Sejumlah empat kilin binatang dalam mitologi Cina menjaga tiap sudutnya.
Pulau Kemaro Palembang
Pulau Kemaro
Prasasti di dekat klenteng menceritakan bahwa setelah menikah Siti Fatimah dibawa oleh Tan Bun An ke negeri Cina menemui orangtuanya dan diberikan tujuh guci yang sebetulnya berisi emas dan permata. Namun karena di Muara Musi dahulu kala dipenuhi perompak maka guci itu ditutup sayur asin. Sayangnya Tan Bun An tidak mengetahui hal itu. Yang ia ketahui hanya kekecewaan ketika mengetahui ada sayur di guci itu, hingga melempar enam dari tujuh guci yang diberikan ke dalam sungai setelah kembali ke kawasan sekitar Pulau Kemaro ini. Namun guci ketujuh menyentuh tepi kapal dan baru disadari guci itu berisi emas dan permata hadiah dari orangtuanya. Tan Bun An tanpa pikir panjang mencebur ke sungai mencari guci, tetapi tidak muncul lagi. Istrinya pun ikut meloncat diikuti pengawal Tan Bun An dan ketiganya tidak kembali.

Namun Burhan, 50 tahun kuncen klenteng itu meluruskan cerita itu dan menyebutkan ada empat orang lagi yang terjun dan gucinya ada 18 buah. Yang keempat adalah dayang -dayang. Klenteng ini dibangun pada 1960-an sebelumnya hanya pondok. Klenteng ini ramai setiap perayaan Imlek dan Tjap Gomeh.

Sayangnya cerita ini tidak menyebutkan kapan kira-kira kisah ini muncul dan menggambarkan masa apa. sekalipun kisah ini hanya dongeng atau nyata Sandra Taal dalam artikelnya berjudul “Cultural Expression, Collective Memory and The Urban Landscape” dalam The Indonesian Town Revisted yang disunting Peter J.M.Nas 2002 menyebutkan cerita ini baru dikenal awal abad ke 20.
Klenteng Pulau Kemaro
Klenteng Pulau Kemaro
Namun klenteng itu jelas perpaduan antara Islam dan Tionghoa. Saya kemudian melacak ke sumber lain bahwa ini mungkin berhubungan dengan ekspedisi Cheng Ho. Johannes Widodo dalam artikelnya A Celebration of Diversity and the Origin of Pre Colonial Coastal Urban Pattern ind South East Asia dalam buku yang disunting Leo Suryadinata Admiral Zheng he and South East Asia menghubungkan kisah ini dengan pemukiman Muslim_Jawa Palembang dengan beberapa ribu imigran Cina dari Guandong, Zhangzhou dan Quanzhou dengan pimpinan disebut Liang tao Ming “Old Kang” di tepian Sungai Musi pada abad ke 14 era pertama Dinasti Ming. Mereka terancam geng bajak laut Cina dipimpin Chen Tsui Hi. Armada Zheng Ho menumpas bajak laut itu pada 1407. Tulisan itu menyebutkan tentang Syech Abdullah yang meperkuat itu ada di era islam.

Djohan Hanafi ah dalam bukunya Melayu- Jawa: citra Budaya dan Sejarah Palembang, 1995 menyebutkan bahwa Palembang ditaklukan Demak pada awal abad ke 16. Buku itu bahkan menyebutkan nama Palembang berasal dari nama Cina “Pan Lin Fong”. Tetapi pemukim Islam sudah ada pada abad ke 15.Dari literatur ini kemungkinan Siti Fatimah itu anak dari pimpinan pemukiman Jawa-Melayu Muslim yang sudah ada sebelum Kesultanan Palembang berdiri. Itu artinya cerita itu menggambarkan situasi abad ke 15-16 ketika bajak laut masih kuat.
PagodaPulau Kemaro
Klenteng Pulau Kemaro
SINGGAH DI KAMPUNG KAPITAN
Tujuan kami berikutnya adalah Kampung Kapitan yang berada di sisi hulu.Sebetulnya letaknya berada di seberang dermaga tempat kami bertolak. Perjalanan kembali ke arah dermaga juga melewati spot yang menarik dari sisi hulu. Diantaranya ialah bangunan seperti gudang dengan arsitektur kolonial jelas tertera Alwi Assegaf berangka 1929 dan 1932. Pabrik ini tepatnya berada di komplek Assegaf, Rt 20, Kelurahan Tangga Takat, Kecamatan Seberang Ulu (SU) II.

Ceritanya Habib Alwi dari Yaman, ketika usianya baru mencapai 10 tahun mengikuti ayahnya ke Batavia. Sayang, dalam perjalanan, sang ayah tercinta meninggal dunia, Saat Habib Alwi sebatang kara, sebelum kapal tiba ke Batavia, ia turun di Mentok Bangka. Di tempat ini, tanpa sengaja ia bertemu dengan salah seorang kerabatnya hingga sempat tinggal dan bekerja di Bangka. Di sini ia bertemu dengan Habib Abdurahman Al-Munawar, saudagar kapal yang menjual hasil bumi. Habib Abdurahman ini ternyata merupakan sahabat dari kakek Habib Alwi, yakni Habib Ahmad.

Merasa iba dengan nasib cucu sahabatnya, Habib Abdurahman kemudian membawa Habib Alwi ke Palembang untuk bekerja dengannya. Berbekal kerja keras, keuletan serta kejujuran dimilikinya membuat Habib Alwi menjadi orang kepercayaan Habib Abdurahman. Alwi kemudian mandiri dan merintis usaha. Dia membawa istrinya ke Kawasan 13 Ulu. Beberapa usaha dikembangkan Habib Alwi sebelum membangun pabrik es.
Kampung Kapitan Palembang
Kampung Kapitan
Pabrik milik Habib Alwi ini pertama kali diberi nama NV Juliana. Baru berubah menjadi namanya setelah masuknya tentara Jepang. Kami juga melewati rumah berarsitektur Melayu terapung hingga puskesmas terapung sebelum tiba di dermaga Kampung Kapitan. Kami memasuki gang sempit sejauh 100 meter dengan kiri kanan rumah berarsitektur Melayu dari kayu. Tujuan kami adalah rumah Kapitan Tjoa semua rumah panggung hibrida antara Budaya Melayu dan Cina. Denahnya serupa dengan pola rumah berdinding keliling Cina, sementara atap dan bahan bangunan tipe lokal Melayu. Hiasan dan ornament interior rumah jelas perpaduan dua budaya ini. Menurut Johannes Widodo dalam artikelnya “Morfologi dan Arsitektur Komuniats diaspora Cina di Indonesia”dalam buku Masa lalu dan Masa Kini dalam Arsitektur Indonesia yang disunting Van Leur, 2009 unsur Tionghoanya adalah dari Cina Selatan.

Saya melihat bangunan ini memiliki area terbuka di bagian tengahnya yang berguna untuk jalur masuk udara dan cahaya matahari.Di bagian dalamnya, ada meja altar yang berguna untuk beribadah. Selain itu terdapat foto-foto keluarga Tjoa dan suasana sepertinya Sungai Musi masa lalu. Tinggi panggung sekitar 2 meter dan tinggi trumahnya sendiri dari lantai kayu lebih dari 3 meter. Tampaknya juga ada unsur Rumah Limas. Keterangan di dalam rumah menunjukkan bahwa rumah ini dibangun Tjoa Haihim pada 1844. Diperkirakan Tjoa yang pertama datang dari era Diansti Ming dari Cina sekitar abad ke 15 bersamaan dengan era Cheng Ho. Rombongan kami disambut oleh Mulyadi keturunan ke 13 dari Tjoa. Sayang banyak bangunan yang bernilai arsitekturtinggi terbengkalai dalam areal ini yang lebih mirip sisa Pecinan.
Rombongan TX Travel
Selanjutnya kami mengunjungi industri rumahan krupuk dan kemplang Palembang. Sepintas seperti rumah biasa. Namun di ruanagn yang begitu sempit ada tempat memasak dan mengepak kerupuk. Saya tidak terlalu tertarik untuk ikut membeli oleholeh seperti beberapa rekan rombongan lain. Seorang penjaja pempek keliling lebih menarik.Walau harganya hanya Rp1.500 perpotong, bisa dimakan di mangkuk kecil. Rasanya renyah dan gurih, terasa ikannya. Walau pun dijajakan keliling, kualitasnya jauh di atas pempek-pempek yang dijual kaki lima di Jakarta.

Best holiday .......